Label:

Tekanan, Intonasi, dan Jeda dalam bahasa Indonesia



Tekanan, Intonasi, dan Jeda dalam bahasa Indonesia

Ketika saya melakukan pencarian dengan mengetikkan kata kunci ‘lafal dan fonem’, menggunakan mesin pencari “Google”, saya mendapatkan kira-kira 3,250 halaman situs daring yang memiliki kata kunci tersebut. Termasuk ‘Sekilas Tentang Pelafalan‘, postingan sebelumnya, alhasil, hanya 0.29 detik saja, saya memutuskan untuk membuka empat alamat link url yang ditampilkan pada halaman pertama. Keempat link tersebut diantaranya adalah Bahasa Indonesia/ Bunyi – Wikibooks, Umar Bakri – Ketrampilan Berbahasa, IN: SBYP – Bahasa Indonesia: Huruf, dan Pelafalan Huruf F dan V (Bukan P).
Sebenarnya topik yang akan saya kemas ulang dalam postingan kali ini tidak jauh berbeda dengan yang ditulis oleh rekan-rekan blogger yang lain. Hanya saja, acuan utama saya mempublikasi perihal tema ini adalah buku pelajaran Bahasa Indonesia. Sesungguhnya juga, saya hanya ingin belajar dari kehidupan. Tidak lebih dari itu.
Baiklah, saya kira semua orang mengetahui (bagi yang menyadarinya) bahwa lafal dan fonem merupakan unsur segmental di dalam bahasa Indonesia. Selain unsur ini, menurut buku Bahasa Indonesia SMK/ MAK Setara Tingkat Semenjana Kelas X, ada pula unsur lain yang fungsinya berkaitan dengan unsur suprasegmental, yaitu tekanan, intonasi, dan jeda. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa tekanan adalah gejala yang ditimbulkan akibat adanya pengkhususan dalam pelafalan sebuah suku kata atau kata. Atau dengan kalimat lain, diterangkan bahwa tekanan adalah bentuk tinggi rendahnya, panjang pendeknya, atau keras lembutnya suara atau pengucapan. Biasanya kata yang mengalami tekanan tertentu adalah kata yang dipentingkan.
Ternyata ada yang menarik ketika berbicara tentang tekanan, mengapa menarik? Rupanya, tekanan dalam bahasa Indonesia tidak mengubah makna seperti pada bahasa Batak Toba /bóntar/ artinya putih, dan /bentár/ artinya darah. Tekanan hanya menunjukkan sesuatu kata atau frasa yang ditonjolkan atau dipentingkan agar mendapat pemahaman secara khusus bagi pendengar. Tekanan tertentu pada sebuah kata atau frasa menguatkan maksud pembicara. Biasanya tekanan didukung oleh ekspresi atau mimik wajah sebagai bagian dari ciri bahasa lisan.
Contoh penggunaan pola tekanan:
  1. Adi membeli novel di toko buku.
    (yang membeli novel Adi, bukan orang lain)
  2. Adi membeli novel di toko buku.
    (Adi membeli novel, bukan membaca)
  3. Adi membeli novel di toko buku.
    (yang dibeli Adi novel bukan alat tulis)
  4. Adi membeli novel di toko buku.
    (Adi membeli novel di toko buku bukan di pasar)
Ciri suprasegmental lainnya, menurut buku Bahasa Indonesia, adalah intonasi. Intonasi ialah tinggi rendahnya nada dalam pelafalan kalimat. Intonasi lazim dinyatakan dengan angka (1,2,3,4). Angka 1 melambangkan titinada paling rendah, sedangkan angka 4 melambangkan titinada paling tinggi.
Penggunaan intonasi menandakan suasana hati penuturnya. Dalam keadaan marah seseorang sering menyatakan sesuatu dengan intonasi menaik dan meninggi, sedangkan suasana sedih cenderung berintonasi menurun. Intonasi juga dapat menandakan ciri-ciri sebuah kalimat. Kalimat yang diucapkan dengan intonasi akhir menurun biasanya bersifat pernyataan, sedangkan yang diakhiri dengan intonasi menaik umumnya berupa kalimat tanya.
Lihat contoh di bawah ini:
Mereka sudah pergi.(1)
Mereka sudah pergi?(4) Kapan?(4)
Ketika membahas tentang intonasi, itu berarti saya juga harus mengenal apa itu jeda. Menurut buku Bahasa Indonesia yang saya baca, diterangkan di sana, bahwa Jeda adalah penghentian atau kesenyapan. Jeda juga berhubungan dengan intonasi, penggunaan intonasi yang baik dapat ditentukan pula oleh penjedaan kalimat yang tepat. Untuk kalimat panjang penempatan jeda dalam pengucapan menentukan ketersampaian pesan. Dengan jeda yang tepat pendengar dapat memahami pokok-pokok isi kalimat yang diungkapkan.
Penggunaan jeda yang tidak baik membuat kalimat terasa janggal dan tidak dapat dipahami. Dalam bahasa lisan, jeda ditandai dengan kesenyapan. Pada bahasa tulis jeda ditandai dengan spasi atau dilambangkan dengan garis miring [/], tanda koma [,], tanda titik koma [;], tanda titik dua [:], tanda hubung [-], atau tanda pisah [--]. Jeda juga dapat memengaruhi pengertian atau makna kalimat. Perhatikan contoh di bawah ini.
Menurut pemeriksaan dokter Joko Susanto memang sakit
Kalimat ini dapat mengandung pengertian yang berbeda jika jedanya berubah.
Misalnya,
  1. Menurut pemeriksaan / dokter Joko Susanto / memang sakit.
    (yang sakit dokter Joko Susanto)
  2. Menurut pemeriksaan dokter / Joko Susanto / memang sakit.
    (yang memeriksa dokter dan yang sakit ialah Joko Susanto)
  3. Menurut pemeriksaan dokter Joko/ Susanto/ memang sakit.
    (yang memeriksa bernama dokter Joko, yang sakit Susanto)
Setelah belajar tentang tekanan; intonasi; jeda di atas, tahulah saya, ternyata saya masih belum cukup pengetahuan, maupun ilmu dalam berbahasa selama ini. Pentingnya memahami tekanan, intonasi, dan jeda ini akan nampak terlihat ketika saya mendengar berita di radio, maupun di TV (baca: te ve) lokal maupun nasional. Dan saya kira, hal ini pasti selalu menjadi prioritas utama (lebih diperhatikan) bagi media dalam hal pelaporan berita menggunakan bahasa lisan. Penting, karena pasti akan berdampak menyeluruh terhadap pendengar. Ya Rabb, tambahkanlah ilmu kepadaku dan pemahaman yang baik, sesungguhnya hamba hanya ingin belajar dari kehidupan.
(Dikutip dari Buku Bahasa Indonesia SMK/ MAK Setara Tingkat Semenjana Kelas X, halaman 8-10, dengan beberapa perubahan)
Intonasi
Bila kita memperhatikan dengan cermat tutur bicara seseorang, maka arus ujaran (bentuk bahasa) yang sampai ke telinga kita terdengar seperti berombak-ombak. Hal ini terjadi karena bagian-bagian dari arus ujaran itu tidak sama nyaring diucapkan. Ada bagian yang diucapkan lebih keras dan ada bagian yang diucapkan lebih lembut; ada bagian yang diucapkan lebih tinggi dan ada bagian yang lebih rendah; ada bagian yang diucapkan lambat-lambat dan ada bagian yang diucapkan dengan cepat. Di samping itu disana-sini, arus ujaran itu masih dapat diputuskan untuk suatu waktu yang singkat atau secara relatif lebih lama, dengan suara yang meninggi (naik), merata, atau merendah (turun). Keseluruhan dari gejala-gejala ini yang terdapat dalam suatu tutur disebut intonasi .
Berarti intonasi itu bukan merupakan suatu gejala tunggal, tetapi merupakan perpaduan dari bermacam-macam gejala yaitu tekanan (stress), nada(pitch), durasi (panjang-pendek), perhentian, dan suara yang meninggi, mendatar, atau merendah pada akhir arus ujaran tadi. Intonasi dengan semua unsur pembentuknya itu disebut unsur suprasegmental bahasa. Landasan intonasi adalah rangkaian nada yang diwarnai oleh tekanan, durasi, perhentian dan suara yang menaik, merata, merendah pada akhir arus ujaran itu.
Batasan: Intonasi adalah kerja sama antara nada, tekanan, durasi, dan perhentian-perhentian yang menyertai suatu tutur, dari awal hingga ke perhentian terakhir.
Karena unsur yang terpenting dari intonasi adalah tekanan, nada, durasi, dan perhentian, maka di bawah ini akan diberikan uraian singkat mengenai keempat komponen itu.
1. Tekanan (Stress)
Yang dimaksud dengan tekanan (stress) adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang ditandai oleh keras-lembutnya arus ujaran . Arus ujaran yang lebih keras atau lebih lembut ditentukan oleh amplitudo getaran, yang dihasilkan oleh tenaga yang lebih kuat atau lebih lemah. Bila kita mengucapkan sepatah kata secara nyaring, misalnya kata / perumahan/, akan terdengar bahwa dalam arus ujaran itu ada bagian yang lebih keras diucapkan dari bagian yang lain. Baca selanjutnya...
2. Nada
Yang dimaksud dengan nada adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang ditandai oleh tinggi-rendahnya arus-ujaran.
Tinggi rendahnya arus-ujaran terjadi karena frekuensi getaran yang berbeda antar segmen. Bila seseorang berada dalam kesedihan ia akan berbicara dengan nada yang rendah. Sebaliknya bila berada dalam keadaan gembira atau marah, nada tinggilah yang biasanya dipergunakan orang. Suatu perintah atau pertanyaan selalu disertai nada yang khas. Nada dalam ilmu bahasa biasanya dilambangkan dengan angka misalnya /2 3 2/ yang berarti segmen pertama lebih rendah bila dibandingkan dengan segmen kedua, sedangkan segmen ketiga lebih rendah dari segmen kedua. Dengan nada yang berbeda, bidang arti yang dimasukinya pun akan berbeda. Baca selanjutnya...
3. Durasi
Yang dimaksud dengan durasi adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang ditandai oleh panjang pendeknya waktu yang diperlukan untuk mengucapkan sebuah segmen.
Dalam tutur, segmen-segmen dalam kata / tinggi / yaitu / ting / dan / gi / masing-masingnya dapat diucapkan dalam waktu yang sama, tetapi dapat terjadi bahwa seorang pembicara dapat mengucapkan segmen / ting / lebih lama dari segmen / gi / atau sebaliknya. Baca selanjutnya...
4. Kesenyapan
Kesenyapan merupakan suatu proses yang terjadi selama berlangsungnya suatu tutur atau suatu arus-ujaran, yang memutuskan arus-ujaran yang tengah berlangsung. Oleh karena itu kesenyapan selalu berada dalam bidang tutur, minimal dalam bidang kalimat.
Ada kesenyapan yang bersifat sementara atau berlangsung sesaat saja, yang menunjukkan bahwa tutur itu masih akan dilanjutkan. Ada pula perhentian yang sifatnya lebih lama, yang biasanya diikuti oleh suara yang menurun yang menyatakan bahwa tutur atau bagian dari tutur itu telah mencapai kebulatan.
Kesenyapan jenis pertama disebut kesenyapan antara atau kesenyapan non-final atau jeda . Kesenyapan ini biasanya dilambangkan dengan tanda koma (,). Sedangkan kesenyapan yang kedua disebut kesenyapan akhir atau kesenyapan final . Kesenyapan ini biasanya dilambangkan dengan tanda titik (.) atau titik koma (;) bila suaranya merendah, dan akan dilambangkan dengan tanda tanya (?) jika intonasi merendah, dan kan dilambangkan dengan tanda seru (!) jika intonasinya lebih keras kedengaran dengan suara yang menurun.

Sekilas Tentang Pelafalan



Picture from http://www.lerc.educ.ubc.ca/LERC/courses/489/worldlang/Croatian/tipsforteachers.htm
Menurut Kamus Besar Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2008, fonem adalah satuan bunyi terkecil yang berfungsi membedakan arti. Sedangkan fonologi adalah ilmu tentang bunyi bahasa, fonemik adalah bagian ilmu bahasa (linguistik) yang meneliti masalah fonem. Sedangkan artikulasi adalah perubahan rongga dan ruang dalam saluran-saluran suara untuk menghasilkan bunyi bahasa; pengucapan bunyi bahasa. Huruf adalah lambang bunyi-bunyi bahasa dalam tata tulis; aksara. Serta lafal adalah ucapan (tata bahasa).
Pada halaman 5, buku Bahasa Indonesia SMK/ MAK Setara Tingkat Semenjana Kelas X, yang saya baca, diterangkan dengan rinci apa itu fonem, fonologi atau fonemik, artikulasi, huruf, lafal. Menurut buku tersebut bahwa di dalam Bahasa Indonesia terdapat lambang-lambang ujaran yang berbentuk huruf terbagi menjadi dua bagian, yaitu vokal dan konsonan. Dan cara mengucapkan lambang bunyi-bunyi tadi disebut dengan lafal, yang oleh seseorang atau sekelompok penutur bahasa diucapkan oleh alat ucapnya.
Penulisan fonem vokal hanya terdiri dari lima, yakni a, i, u, e, o. Tapi terdapat delapan bunyi ujaran pada fonem lokal tersebut. Diantaranya adalah;
fonem / a / dilafalkan [ a ]
fonem / i / dilafalkan [ i ]
fonem / u / dilafalkan [u ]
fonem / e / dilafalkan tiga bunyi yaitu: [ e ] , [ ə ] atau e lemah, dan [ε] atau e lebar.
Contoh pemakaian katanya;
lafal [ e ] pada kata < sate >
lafal [ə ] pada kata < pəsan >
lafal [ε ] pada kata < n ε n ε k >
fonem / o / terdiri atas lafal [ o ] biasa dan lafal [0] atau o bundar.
Contoh pemakaian katanya:
lafal [ o ] pada kata [ orang ]
lafal [0] pada kata [ p h n ], saat mengucapkannya bibir lebih maju dan bundar.
Variasi lafal fonerm / e / dan / o / ini memang tak begitu dirasakan, cenderung tersamar karena pengucapannya tidak mengubah arti kecuali pada kata-kata tertentu yang termasuk jenis homonim (= kata yang sama lafal atau ejaannya dengan kata lain, tetapi berbeda maknanya (seperti hak azasi manusia dan hak sepatu).
Karena tidak adanya pedoman khusus yang mengatur ucapan atau lafal di atas seperti halnya sistem tata tulis atau ejaan dalam Pedoman Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang harus dipatuhi oleh kita sebagai pemakai bahasa tulis bahasa Indonesia sebagai ukuran bakunya. Menurut buku Bahasa Indonesia SMK/ MAK Kelas X, lafal sering dipengaruhi oleh bahasa daerah. Sehingga tidak menutup kemungkinan ketika menggunakan bahasa Indonesia, sedikit banyak dalam pengucapan diwarnai oleh unsur bahasa daerah kita masing-masing, yang notabanenya adalah bahasa Ibu.
Contoh: kata <apa> diucapkan oleh orang Betawi menjadi <ape>, <pOhOn) diucapkan <pu’un>. Pada bahasa Tapanuli (Batak), pengucapan e umumnya menjadi ε, seperti kata <benar> menjadi <bεnar>, atau pada bahasa daerah Bali dan Aceh pengucapan huruf t dan d terasa kental sekali, misalnya ucapan kata teman seperti terdengar deman, di Jawa khusunya daerah Jawa Tengah pengucapan huruf b sering diiringi dengan bunyi /m / misalnya, <bali> menjadi [mBali], <besok> menjadi {mbesok] dan sebagainya.
Disamping dipengaruhi oleh bahasa daerah, pelafalan kata juga sering dipengaruhi oleh bahasa sehari-hari yang tidak baku. Contoh:
telur > telor
kursi > korsi
lubang > lobang
kantung > kant0ng
senin > sənεn
rabu > rebo
kamis > kemis
kerbau > kebo, dan lain sebagainya.
(Dikutip dari Buku Bahasa Indonesia SMK/ MAK Setara Tingkat Semenjana Kelas X, halaman 5-6, dengan beberapa perubahan)

0 komentar:

Posting Komentar